Takdir baik tidak memihak sebuah keluarga miskin beranak enam di India. Sang ayah Mohammed Nazir (42) hanyalah seorang pedagang kelont...
Takdir baik tidak memihak sebuah keluarga miskin beranak enam di India. Sang ayah Mohammed Nazir (42) hanyalah seorang pedagang kelontong yang harus menerima kenyataan pahit setiap anaknya mengidap lumpuh layu.
Tercatat hanya anak tertua dan termuda keadannya lebih baik di antara anak Nazir yang rata-rata hanya bisa tiduran.
Indian Express melaporkan, Minggu (7/6) Nazir frustrasi atas kondisi keenam putranya. Dia mengirim surat, meminta persetujuan Presiden India Pranab Mukherjee untuk membolehkannya membunuh anak-anaknya. Dia beralasan tidak sanggup bila harus terus membiayai pengobatan mereka.
"Pada saat bayi belum nampak kejangggalan pada mereka, barulah di usia ke empat atau lima, tulang-tulang mereka tidak tumbuh secara normal, dampaknya adalah ketidak mampuan mereka berdiri dan berjalan," ungkap Nazir.
"Saya hanya bisa menyediakan dana 5 ribu rupee (Rp 1 juta) per bulan untuk membiayai pengobatan mereka, dan saya tidak sanggup bila harus melihat penderitaan mereka secara lagi dan lagi" lanjutnya.
Walau secara mental sehat, anak-anak Nazir itu menderit kelainan genetika yang disebut Canavan. Salah satu cirinya adalah gangguan pada syaraf, memicu gejala epilepsi, kelumpuhan. serta berkurangnya indera penglihatan dan kemampuan berbicara.
Tabassum (36), ibu enam anak malang itu mengaku kehilangan harapan terhadap kelanutan hidup mereka.
"Itulah alasannya mengapa suami saya menyurati presiden dengan isi seperti itu," katanya.
Keluarga malang ini berharap surat tersebut mendapat respon baik dari presiden, dan menjadikan titik baru demi penyembuhan anak-anak mereka.
Uphady, seorang dokter ahli, mengatakan bila penyembuhan melalui obat-obatan hanya berlangsung sesaat dan tidak total. Ahli Fisioterapi, Pankaj Singh Rathore, juga menambahkan, dalam kasus ini sangat tipis harapan sembuh bagi enam anak malang itu.
Surat Nazir itu memicu perdebatan publik soal euthanasia alias kebijakan mengizinkan pasien mengakhiri nyawanya sendiri. Tindakan medis yang sudah biasa dilakukan di negara Barat ini secara etis ditolak penganut Hindu sebagai agama mayoritas di Negeri Sungai Gangga.